Vitamin E pertama sekali ditemukan sekitar awal 1920-an. Vitamin E memiliki delapan struktur isomer tokoferol dan tokotrienols alpha (α), beta (β), gamma dan delta (δ) tocopherol dan tocotrienol (Brigelius,1999). Vitamin E (tocoferol) merupakan vitamin larut dalam lemak dan merupakan antioksidan dan berfungsi penting dalam pemeliharaan integritas membran sel utama tubuh. Defisiensi -tocoferol di manifestasikan pada gangguan neuromuskular, pembuluh darah dan sistem reproduksi, disfungsi membrane akibat degradasi oksidatif pada lemak tak jenuh membran phospholipid dan atau gangguan proses kritikal seluler (Terbelence, 2000).
Vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran. Vitamin E mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan ion hidrogen ke dalam reaksi, sehingga mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, menyekat aktivitas tambahan yang dilakukan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi berantai dan bersifat membatasi kerusakan (Burton, 1994; Bregelius-Fohe, 1999).
Penelitian tentang efek antioksidan vitamin E pada hewan percobaan menggunakan dosis vitamin E berdasarkan berat badan hewan percobaan atau jumlah vitamin E yang dicampurkan dalam diet. Sureda (2005) menunjukkan bahwa pemberian vitamin E memberikan perbaikan pada eritrosit, limfosit, tetapi tidak pada neutrophil. Lipid dan zat asam thiobarbituric rekatif (TBARS) dalam plasma dan dalam serat otot pada tikus yang terbentuk dengan olah raga berat selama empat minggu dapat diturunkan dengan pemberian suplemen vitamin E. Verma et al., (2001) mendapatkan pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Zhang (1997) meneliti pemberian vitamin E dengan dosis 2 mg/hari per oral selama 90 hari mampu menghambat terjadinya proses lipid peroksidasi, apoptosis, perubahan DNA, dan kanker pada ginjal mencit yang dipapari zat besi. Obianime; Roberts I.I (2009) mendapatkan adanya efek antioksidan yang sama antara vitamin C dan Vitamin E pada jaringan histologi ginjal dan testis mencit yang di papari kadmium. Dalam hal ini pemberian vitamin E 1,51 mg/hari peroral selama empat 30 hari dapat melindungi jaringan ginjal dan testis pada mencit yang terpapar kadmium yang dapat bertindak sebagai radikal bebas dan bersifat hepatotoksik.
Secara klinis, vitamin E juga bermanfaat melindungi membran dasar glomerulus ginjal dan menghambat proses pengentalan darah (agregrasi platelet) (Saran et al., 2003). Jika kekurangan vitamin E, dapat terjadi nefritis dimana tubulus tidak dapat dilewati urine yang ditandai dengan degenerasi basal yang progresif. Jika hal ini berkepanjangan maka tubulus akan hancur, namun penambahan vitamin E akan memperbaiki kondisi ini. Vitamin E membantu sel bertahan hidup dengan penurunan kebutuhannya akan oksigen, mencegah jaringan parut dan kerusakan ginjal oleh karena bahan kimia beracun serta meningkatkan aliran urine (Crawford, 2010).
Vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran. Vitamin E mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan ion hidrogen ke dalam reaksi, sehingga mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, menyekat aktivitas tambahan yang dilakukan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi berantai dan bersifat membatasi kerusakan (Burton, 1994; Bregelius-Fohe, 1999).
Penelitian tentang efek antioksidan vitamin E pada hewan percobaan menggunakan dosis vitamin E berdasarkan berat badan hewan percobaan atau jumlah vitamin E yang dicampurkan dalam diet. Sureda (2005) menunjukkan bahwa pemberian vitamin E memberikan perbaikan pada eritrosit, limfosit, tetapi tidak pada neutrophil. Lipid dan zat asam thiobarbituric rekatif (TBARS) dalam plasma dan dalam serat otot pada tikus yang terbentuk dengan olah raga berat selama empat minggu dapat diturunkan dengan pemberian suplemen vitamin E. Verma et al., (2001) mendapatkan pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Zhang (1997) meneliti pemberian vitamin E dengan dosis 2 mg/hari per oral selama 90 hari mampu menghambat terjadinya proses lipid peroksidasi, apoptosis, perubahan DNA, dan kanker pada ginjal mencit yang dipapari zat besi. Obianime; Roberts I.I (2009) mendapatkan adanya efek antioksidan yang sama antara vitamin C dan Vitamin E pada jaringan histologi ginjal dan testis mencit yang di papari kadmium. Dalam hal ini pemberian vitamin E 1,51 mg/hari peroral selama empat 30 hari dapat melindungi jaringan ginjal dan testis pada mencit yang terpapar kadmium yang dapat bertindak sebagai radikal bebas dan bersifat hepatotoksik.
Secara klinis, vitamin E juga bermanfaat melindungi membran dasar glomerulus ginjal dan menghambat proses pengentalan darah (agregrasi platelet) (Saran et al., 2003). Jika kekurangan vitamin E, dapat terjadi nefritis dimana tubulus tidak dapat dilewati urine yang ditandai dengan degenerasi basal yang progresif. Jika hal ini berkepanjangan maka tubulus akan hancur, namun penambahan vitamin E akan memperbaiki kondisi ini. Vitamin E membantu sel bertahan hidup dengan penurunan kebutuhannya akan oksigen, mencegah jaringan parut dan kerusakan ginjal oleh karena bahan kimia beracun serta meningkatkan aliran urine (Crawford, 2010).
No comments:
Post a Comment