Saturday, January 04, 2020

Pencegahan Pre-eklampsia



Pencegahan Pre-eklamsia Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit pre-eklamsia dapat dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu : (1) Pencegahan primer yaitu upaya untuk menghindari terjadinya peyakit (2) Pencegahan sekunder yaitu memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. (3) Pencegahan tersier yaitu pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan tata laksana.
Pencegahan primer pre-eklamsia Pemeriksaan antenatal care dilakukan secara rutin untuk deteksi awal faktor-faktor resiko.3Berdasarkan pengumpulan beberapa studi pada PNPK tahun 2016 didapatkan 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko pre-eklamsia yang sebenarnya bisa dinilai pada kunjungan antenatal pertama, umur >40 tahun, nulipara, multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya, multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru, multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih, riwayat pre-eklamsia pada ibu atau saudara perempuan, kehamilan multiple, IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus), Hipertensi Kronik, Penyakit Ginjal, Sindrom antifosfolipid, kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio, obesitas sebelum hamil; serta didapatkannya indeks massa tubuh >35, tekanan darah diastolic >80 mmHg, proteinuria (dipstick >+1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara kuantitatif 300 mg/24 jam) pada pemeriksaan fisik.

Pencegahan sekunder pre-eklamsia Agen antitrombotik : aspirin dosis rendah 60 mg per hari diberikan pada awal kehamilan pada pasien dengan resiko tinggi. Hal ini secara selektif mengurangi produksi tromboksan. Aspirin dosis rendah diketahui dapat menghambat siklooksigenase pada platelet dengan mencegah pembentukan tromboksan A2 tanpa mengganggu prostasiklin.3Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis rendah sebagai prevensi pre-eklamsia sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu.6,7Suplementasi kalsium direkomendasikan terutama pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium direkomendasikan sebagai prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya pre-eklamsia.3 Penelitian yang dilakukan Hofmeyr, dkk pada tahun 2010 pada wanita yang pre-eklamsia mendapatkan dosis 1 mg/hari sebagai dosis rekomendasi sebagai prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi.8Antioksidan, vitamin E dan C dan suplemen dengan magnesium, zinc, minyak ikan, dan diet rendah garam telah dicoba namun manfaatnya masih terbatas.3 Pada penelitian Rumbold, dkk tahun 2008 didapatkan hasil bahwa pemberian vitamin C dan E dosis tinggi tidak menurunkan risiko hipertensi dalam kehamilan, pre-eklamsia dan eklamsia.9Diet seimbang kaya protein mungkin dapat mengurangi resiko.3Heparin atau heparin low-molecular-wieghtbermanfaat pada wanita dengan trombofilia dan dengan kehamilan dengan resiko tinggi.

Diagram manajemen preeklamsia tanpa gejala pemberat
























Diagram manajemen preeklamsia dengan usia kehamilan di bawah 34 minggu
























Referensi

1.      Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran : Diagnosis dan Tata Laksana Pre-eklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal.2016

2.      WHO recommendations for prevention and treatment of preeclampsia and eclampsia


3.      Dutta DC. Text book of Obstetrics including Perinatology and Contraception. 6th edition. New Central book agency India; 2015: pp256


4.      Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Hypertensive Disorders in Pregnancy. William Obstetrics. 22nd ed, McGraw-Hill Publisher; Chapter 34: 763-765



Friday, January 03, 2020

Makalah Epilepsy Kegawatdaruratan


BLOK KGD                                                                             NOVEMBER 2019

MAKALAH KEGAWATDARURATAN EPILEPSI

Description: logofkunpatti

Oleh:
Brayens J. S. J. Taliak
2015-83-064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa saya panjatkan karena dengan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah Kegawatdaruratan Epilepsi ini dengan sebaik – baiknya.

Dalam penyusunan makalah  ini. Penulis menyadari bahwa makalah  ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, waktu dan pengalaman kami dalam menyusun referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca makalah ini. Dan semoga maklah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.



Penulis            












DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………………………...2
Daftar Isi………………………………………………………………………………3
Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………….4
1.1  Pengertian………………………………………………………………….…4
1.2  Epidemiologi…………………………………………………………………4
Bab II Pembahasan……………………………………………………………………6
2.1  Definisi…………………………………………………………………….…6
2.2  Patofisiologi...………………………………………………………………..7
2.3  Penatalaksanaan…………………………………………………………….15
2.4  Pertolongan Pertama………………………………………………………..17
Bab III Penutup………………………………………………………………………18
Daftar Pustaka………………………………………………………………………..19













BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian

Epilepsi merupakan suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebihan dan sinkron, dari neuron yang terutama terletak pada corteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul intermiten dan ‘self-limited’.

Sindroma epilepsi adalah penyakit epilepsy ditandai oleh sekumpulan gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, factor presipitasi usia, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa).

1.2 Epidemiologi

Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi penderita epilepsi.

Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan.

Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsy berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan Normal. Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai
gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai
kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.

Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsy adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.

Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi dikemudian hari.
2.2 Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
·       Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
·       Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
·       Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
·       Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
1.      Klasifikasi
1.      Sawan Parsial
i.      Sawan parsial sederhana
ii.     Sawan parsial kompleks 
                       2.         Sawan Umum
-         Sawan lena
-         Sawan mioklonik
-         Sawan klonik
-         Sawan Tonik
-         Sawan tonik-klonik
-         Sawan atonik
3.Sawan tak tergolongkan
2.3 Manifestasi Klinis
Sawan Parsial (lokal, fokal)
-         Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
1.      Dengan gejala motorik
·       Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
·       Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
·       Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
·       Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
·       Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
1.      Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
·       Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
·        
·       Visual : terlihat cahaya
·       Auditoris : terdengar sesuatu
·       Olfaktoris : terhidu sesuatu
·       Gustatoris : terkecap sesuatu
·       Disertai vertigo
1.      Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
2.      Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
-    Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
-   Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
-    Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
-   Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
-    Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
-   Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
-   Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1.      Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
·           Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
·           Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
·           Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
·           Hanya dengan penurunan kesadaran
·           Dengan automatisme
1.        Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
2.        Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
3.        Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
4.        Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
1.      Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
1.      Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
1.      Hanya penurunan kesadaran
2.      Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3.      Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4.      Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
5.      Dengan automatisme
6.      Dengan komponen autonom.
7.      Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
1.      Gangguan tonus yang lebih jelas.
2.      Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2.  Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
3.  Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
4.  Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
5.  Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
6.  Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
7.  Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
2.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a.       Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per
rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b.      Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsy dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.

Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu
1.      Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.
2.      Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :30
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3.      Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

2.4 Pertolongan Pertama

Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :
a.       Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api, dan lain – lain).
b.      Jangan pernah meninggalkan penderita.
c.       Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).
d.      Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
e.       Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f.       Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi minum, penahan lidah.
g.      Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur.


BAB III
PENUTUP
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan mental,dengan atau tanpa kejang-kejang. 

Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grand mal. 

Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grand mal meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu.

Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi mioklonik adalah kejang otot yangklonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.








DAFTAR PUSTAKA
1.      Octavina F. Epilepsi. In : Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development and medical application. Vcl. 21 Nov-Des 2008. p.121-2.
2.      Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed : 6. Jakarta. EGC
3.      Perdossi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
4.      WebMD. Diakses pada 2019. What Is Epilepsy? Health Journal Science. Diakses pada 2019. Risk factors associated with Epilepsy: A case-control study.