BLOK
KGD
NOVEMBER 2019
MAKALAH
KEGAWATDARURATAN EPILEPSI
Oleh:
Brayens J. S. J. Taliak
2015-83-064
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa saya
panjatkan karena dengan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah
Kegawatdaruratan Epilepsi ini dengan sebaik – baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan
keterbatasan pengetahuan, waktu dan pengalaman kami dalam menyusun referat ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak yang membaca makalah ini. Dan semoga maklah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………………………...2
Daftar Isi………………………………………………………………………………3
Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………….4
1.1 Pengertian………………………………………………………………….…4
1.2 Epidemiologi…………………………………………………………………4
Bab II Pembahasan……………………………………………………………………6
2.1 Definisi…………………………………………………………………….…6
2.2 Patofisiologi...………………………………………………………………..7
2.3 Penatalaksanaan…………………………………………………………….15
2.4 Pertolongan
Pertama………………………………………………………..17
Bab III Penutup………………………………………………………………………18
Daftar Pustaka………………………………………………………………………..19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian
Epilepsi merupakan suatu keadaan neurologik yang
ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi.
Sedangkan bangkitan epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinis yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebihan dan sinkron,
dari neuron yang terutama terletak pada corteks serebri. Aktivitas paroksismal
abnormal ini umumnya timbul intermiten dan ‘self-limited’.
Sindroma epilepsi adalah penyakit epilepsy
ditandai oleh sekumpulan gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan,
etiologi, anatomi, factor presipitasi usia, beratnya penyakit, siklus harian
dan prognosa).
1.2 Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling
sering terjadi pada anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami
setidaknya satu kali kejang pada 16 tahun
pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan
bahwa 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi penderita
epilepsi.
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat
beragam, di antaranya
adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit
degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun
terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi
sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi
epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi
daripada anak perempuan.
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan
orang lebih tua (di atas
65 tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada
masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi
terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian
menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun
epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada
tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani,
Epilambanmein yang berarti
serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi
disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci.
Latar belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsy berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap
masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan
penderita epilepsi dalam kehidupan Normal.
Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil mengenal
epilepsi sebagai
gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari
oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap
orang di seluruh dunia.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi
otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu
kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena
adanya lesi pada satu bagian dari cerebral
cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya
mengenai
kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam
epilepsi umum.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung mendadak dan sementara, dengan
atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas
listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom
epilepsi. Kejang
epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai
penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal
atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsy adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur,
onset, jenis serangan, faktor pencetus,
kronisitas.
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan
ciri epilepsi yang
harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan
manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa
menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya
penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan,
misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang
cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau
infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia
atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya
epilepsi dikemudian hari.
2.2 Patofisiologi
Kejang terjadi akibat
lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari
jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel,
sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut :
· Instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
· Neuron-neuron
hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu
akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
· Kelainan polarisasi
(polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi)
yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA).
· Ketidakseimbangan ion
yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan
metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan
oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik
sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul
di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak
dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang
hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme
kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
1. Klasifikasi
1. Sawan Parsial
i.
Sawan parsial sederhana
ii. Sawan
parsial kompleks
2. Sawan Umum
-
Sawan lena
-
Sawan mioklonik
-
Sawan klonik
-
Sawan Tonik
-
Sawan tonik-klonik
-
Sawan atonik
3.Sawan tak tergolongkan
2.3 Manifestasi Klinis
Sawan Parsial (lokal,
fokal)
-
Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
1. Dengan gejala motorik
· Fokal motorik tidak
menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
· Fokal motorik menjalar :
sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain.
Disebut juga epilepsi Jackson.
· Versif : sawan disertai
gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
· Postural : sawan
disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
· Disertai gangguan fonasi
: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi
tertentu
1. Dengan gejala somatosensoris
atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima
panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
· Somatosensoris: timbul
rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
·
· Visual : terlihat cahaya
· Auditoris : terdengar
sesuatu
· Olfaktoris : terhidu
sesuatu
· Gustatoris : terkecap
sesuatu
· Disertai vertigo
1. Dengan gejala atau tanda
gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi,
dilatasi pupil).
2. Dengan gejala psikis
(gangguan fungsi luhur)
- Disfagia
: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat
suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif
: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi :
perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara,
musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
- Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1. Serangan parsial
sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru
menurun.
·
Dengan
gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
·
Dengan
automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya,
misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak
menentu, dll.
·
Dengan
penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan
kesadaran.
·
Hanya
dengan penurunan kesadaran
·
Dengan
automatisme
1.
Sawan Parsial yang
berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
2.
Sawan parsial sederhana
yang berkembang menjadi bangkitan umum.
3.
Sawan parsial kompleks
yang berkembang menjadi bangkitan umum.
4.
Sawan parsial sederhana
yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
1. Sawan Umum (Konvulsif
atau NonKonvulsif)
1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan
yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat
memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung
selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
1. Hanya penurunan
kesadaran
2. Dengan komponen klonik
ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut
mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3. Dengan komponen atonik.
Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas
sehingga tampak mengulai.
4. Dengan komponen klonik.
Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak
mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul
atau mengedang.
5. Dengan automatisme
6. Dengan komponen autonom.
7. Lena tak khas (atipical
absence)
Dapat disertai:
1. Gangguan tonus yang
lebih jelas.
2. Permulaan dan berakhirnya
bangkitan tidak mendadak.
2. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik
terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau
semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada
semua umur.
3. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak
terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di
lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
4. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada
komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh
bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada
anak.
5. Sawan
Tonik-Klonik
Sawan ini sering
dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan
dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan.
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa
saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi
berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan
badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
6. Sawan atonik
Pada keadaan ini
otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran
dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada
anak.
7. Sawan Tak
Tergolongkan
Termasuk golongan ini
ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah,
gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.
2.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu
:
a.
Tatalaksana fase akut
(saat kejang)
Tujuan
pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin,
mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung
singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan
pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam
per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang
masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat
yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per
rektal masih
belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa
ke rumah sakit.
b.
Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya.
Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan
kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel
otak. Apabila kejang terjadi terus menerus
maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif
mungkin. Pengobatan epilepsy dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.
Secara umum ada tiga
terapi epilepsi, yaitu
1. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis
obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan di Indonesia adalah obat golongan
fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif.
Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi,
penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali
ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat
maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah
yang dapat mengatasi kejang.
2. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan
otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita
epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus
infeksi :30
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan
kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan
obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi
nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik
dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara
pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap
dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya
kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah
karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat
dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak
terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah
4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan
sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang
yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.
2.4 Pertolongan
Pertama
Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara
lain :
a.
Jauhkan penderita dari
benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor
api, dan lain – lain).
b.
Jangan pernah
meninggalkan penderita.
c.
Berikan alas lembut di
bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak menimbulkan
cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika
ada).
d.
Miringkan tubuh
penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran
udara atau pernapasan.
e.
Pada saat penderita
mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita.
Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f.
Jangan masukkan benda
apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi
minum, penahan lidah.
g.
Setelah kejang
selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan
penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur.
BAB III
PENUTUP
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah
gangguan sistem saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan
listrik sel saraf secara berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik dan mental,dengan atau tanpa kejang-kejang.
Epilepsi dapat menyerang
anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir.
Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial
dan epilepsi grand mal.
Epilepsi parsial
dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial
kompleks. Epilepsi grand mal meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan
myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya berlangsung secara
terus-menerus atau kontinyu.
Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana terjadi kontraksi otot yang
mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot.
Sedangkan epilepsi mioklonik adalah kejang otot yangklonik dan bisa terjadi
spasme kelumpuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Octavina
F. Epilepsi. In : Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development
and medical application. Vcl. 21
Nov-Des 2008. p.121-2.
2. Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis
Prose-Proses Penyakit. Ed : 6. Jakarta. EGC
3.
Perdossi. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
4. WebMD. Diakses pada 2019. What Is Epilepsy? Health Journal Science. Diakses pada 2019. Risk factors
associated with Epilepsy: A case-control study.